16 July, 2008

ODE SAHABAT- 2

Darimatahari, terimakasih bagi hatimu yang samudera



Pejaten, 12 Juli 2008

SELAMAT JALAN SAHABAT

Kuhitung hari
ketika akan tiba waktumu pulang
menjelangnya bagian nestapa
dari derita kerinduan
walau mesti kau lalui
hendak menjemput bingkai cinta
pada pangkuan ibunda

Berangkatlah
aku hanya dapat mengulum doa
sambil mengukir satu lagi
dari cerita yang kita susun

airmata adalah janji
bagi perih yang mesti kutanggung


Pejaten, 12 Juli 2008

11 July, 2008

ode sahabat

ODE SAHABAT
Bagi Saudara Hati: Darimatahari

Jalan ini telah gelap bulanpun sudah tenggelam
baru setelah malam beranjak larut
secercah cahaya baru dapat kugenggam
hingga aku dapat meraba
tapak-tapak menuju fajar

Begitu juga ketikahari panas menyengat
Sekian lama aku terdampar di padang terik
Baru siang ini aku sampai di bawah pohon
hingga aku bisa berteduh
dan rebah dari letih sepanjang ini

Aku ingin selamanya kita bisa saling jadi purnama
Begitu juga kita bisa menjadi taman hari-hari pun kegelapan



pejaten, 11 Juli 2008

05 July, 2008

SEJARAH HATI KEDUA

Membaca sejarah kelam di ufuk senja, kutoreh sejumput peristiwa dari sisa musim kemarau. Engkau disana hampa. Waktu mulai beranjak menjelajahi kembali kemarau, disana engkaupun diam. Bahkan hingga enam musim kemarau engkau tak ada.

Membuka jendela waktu, aku tiba di serambi hatimu, sembari memasuki ruang dimana kerinduan menunggu parau. Engkau mengulurkan janji bisu diantara riak ombak, hingga tak mampu kugapai dalam kepalan tangan-tangan yang tak lagi melambai.

Suatu hari kudengar burung pipit bernyanyi, mengepakkan sayapnya dengan riang, begitu juga elok gemulai ilalang bersama desir angin yang meniup lembut. Tiba-tiba engkaupun menjelma persis seperti pangeran yang menunggangi kuda putih tiba diujung senja, saat sungai mulai tenang. Dan aku masih berada disana, seperti menanti purnama

Suatu ketika aku melihatmu seperti bungkon dengan warna jiwamu yang berubah. Aku bukan seorang bijak yang dapat membaca setiap resahmu. Hari itu kita seperti asing tak saling kenal. Setiap pertemuan menimbulkan seribu pertanyaan yang kusimpan rapat, hingga kuyakin kau tak pernah mengetahui kebenarannya.

Sepanjang sunyi mengitari jiwa, aku terlelap dengan seutas mimpi, yang membekaliku harapan. Aku terbangun dan melihatmu telah berada disisi hati terdekat, mendekap mengulang janji yang sudah tak kuingat lagi. Engkau tak pernah berhenti mengajakku melihat pelangi di sore hari, menatap gemintang di malam hari pun juga menyusuri purnama sepanjang malam, hanya kita. Kali ini aku percaya bahwa telah kumasuki gerbang musim semi dengan doa, sujud dan syukur.

Aku akan melaluinya dengan suka cita

29 Juni 2008

04 July, 2008

AKHIR APRIL BERSAMAMU

Nda, terimakasih, untuk diskusi yang kita gelar semalam, pagi ini terasa lebih hangat dan bergairah, kicau burung gereja bersahutan di atas genting, sesekali menapak di tanah. Sejenak. Terbang lagi hilang dari pandangan, beberapa detik berlalu kembali ia berdendang dengan riang. Burung gereja itu begitu lincahnya. Aku terhanyut menyaksikan kicau dan candanya.

Aku hanya bisa tersenyum sendiri, mengingat kembali kehangatan percakapan tentang seraut kebimbangan yang melekat dihatiku. Aku selalu tak bisa memutuskan, lantaran masing-masing tanah tempat aku berpijak memiliki alasan kuat untuk aku bertahan. Meski kata hati kadang menunjukku untuk tetap tinggal bersama riang burung gereja atau hamparan padi bahkan hamparan ayat-ayat semesta.

Kebimbangan telah merusak sebagian cita, walau ia masih terkait di cakrawala. Kebimbangan juga telah menodai ketulusan yang seharusnya kutegakkan. Begitulah, sahabatku datang untuk menjemput letihku, kau tahu Nda apa yang ia katakan, ia mencibir hatiku yang terkoyak. ”Pergilah kau berlayar ke tanah seberang, rengkuh rindumu, bebaskan dahaga yang menggersangkan tenggorokanmu. Dan sekali-kali jangan pernah menoleh kebelakang, tinggalkan semua cerita dan tahta. Atau engkau ingin tetap tinggal disini untuk menghirup kenikmatan diatas singgasana? ”

Nda, aku tidak tahu, karena yang kurindukan hanyalah kedamaian, jalan lurus dan kesahajaan. Engkau kemudian memberiku jalan dan memusnahkan kebimbangan. ”Engkau tak bisa putuskan hari ini, besok ataupun lusa, diriku pun juga dirimu butuh waktu, disanalah jalannya untuk menggapai RestuNya. Dan bersabarlah”

Aku selalu mengingat kata-katamu, sederhana tapi sanggup menggugah jiwa untuk beranjak tinggalkan kebimbangan dan tetap berjalan menyusuri ruang dan waktu.
Suatu hari nanti akan aku temui.

Ya, seperti nyanyian burung gereja ini.

02 July, 2008

NYANYI PILU PEREMPUAN

Kami tak lebih dari sekedar
Secuil nafas yang menanti ajal
Mempertahankannya dengan keringat
Yang kuusap dengan airmata

Kami masih harus merangkai hari
Bersama ayah, ibu dan kadang pula suami
Begitulah mimpi menemani pada detik-detik
Ketika kami mesti berjuang melawan kemiskinan

Kami yang terdampar disini
Masih ingin bertahan untuk hidup
Walau bahaya di kanan kiri kami
Di hadapan dan juga dibelakang kami

01 July, 2008

SALAM RINDU

Terik ini begitu menyengat, aku diburu resah tak sabar membayangkan pertemuan kita setelah puluhan purnama melintas hanya sempat kutitipkan salam untukmu. Sudah sampai dimana? Tanyamu dalam pesan singkat yang kau kirimkan. Aku telah menunggumu disini, katamu dam semakin menggetarkan hatiku. Begitu aku tiba di kota kecil ini, resahku semakin membuncah tak dapat kutahan kerinduan yang sangat mendalam.

Di sebuah Cafe sederhana, kita duduk bersila, saling berbagi cerita, berapa waktu telah kita lewati dengan sia-sia, hampa dan sepi. Mengapa kita mesti bertemu disini setelah kupalingkan langkah tak sanggup menunggu kepastian hati tempat aku bersandar dan berteduh dari segenap kepiluan masalalu yang tak juga pergi. Mengapa kita mesti mengukir janji bila kau telah dikejar waktu?

Waktu itu aku telah memilih untuk bungkam, dengan seribu kecemasan yang tak mampu kutanggung. Melihat engkau juga bisu. Hari ini kita tak perlu menyesali mengapa pertemuan kita dulu di taman dikolam ikan itu tidak membukakan hati kita untuk saling menyapa dan mengikat sebait janji ? sudahlah Nda, kita telah memiliki kehidupan masing-masing walaupun hati tak semudah itu untuk dilepaskan. Meski sedetik rasamu seabab rasa cintaku.
Blang Pidie, 20 Agustus 2006

ENGKAUPUN TERHIMPIT SUNYI

Aku mempersilahkan engkau duduk, diatas tikar kalbu, yang berhasil kurajut, ketika engkau memberiku benang-benang mimpi dan sisa serpihan nyata.
Beranda ini terasa sejuk, meski panas mulai meradang kampungku, hamparan padi yang masih menghijau menambah sejuk suasana. Aku senang engkau disini, saling berbagi. Entah siapa yang memulai percakapan, tiba pada kata-katamu yang menghancurkanku. “aku butuh teman, aku terasa asing disini, tidak ada siapa-siapa”. Aku hampir tidak percaya bahwa kau berada pada kesunyian, sedangkan kukenal engkau berjiwa utuh. Hatimu dapat menciptakan seribu warna pelangi yang sering kau sematkan juga pada hatiku. Nda, pastilah aku dapat menyelami kesunyian yang menghimpitmu kini. Menanigslah kalau itu perlu untuk menyingkirkan sedikit dari kehampaanmu. Seperti aku juga menangis mendengar keadaanmu hari ini. Nda, jadikan aku sahabatmu, yang selalu ada untukmu, walaupun ada batas, ada waktu, bahkan ada cinta sekalipun.

Angin kembali berdesir, menyisir batang-batang padi. Kita terdiam, saling berpikir untuk keluar dari himpitan sunyi, keluar untuk mencari hikmah dari setiap langkah menerawang melintasi harapan yang masih terpasung.
4 Mei 2008