07 May, 2007

Kota Cinta

Disini aku mengasah diri, menuai hari, menyemai waktu pun mengukir masa. Sudah lama aku tak pulang, walau kau sempat dirundung duka akupun tak sempat pulang. Kota ini menimbun makna sejarah. Sejarah negeri, sejarah bagi para pencari pun sejarah bagi hatiku juga hatimu. Hari ini aku pulang, rindu sekali ingin kubuka lembar demi lembar hari yang mencatat selaksa peristiwa.

Disudut kota ini aku pernah menulis puisi tentang cinta, disudut kota ditaman dibawah temaram lampu dan sisa purnama.
Dijantung kota ini, aku mencari makna bagi setiap langkahku, bekal esok sebagai hadiah bagi ibunda yang menanti.
Diujung jalan ini, aku memutuskan lari dari letih masalalu meski jurang yang kutemui, bukannya aku bangkit melainkan aku terjatuh lagi.
Di perbatasan ini, aku bertemu kekasih yang mengalungkan sebutir mutiara untuk kukenakan sepanjang masa. Di Kota ini juga aku aku menahan perih dari segala perih bagi luka

Itulah kota cinta, airmataku jatuh ketika tak kulihat lagi catatan yang kusimpan disepanjang jalan ini. Ketika tak kutemui sapa keramahan yang dulu kau ulurkan saat pertama kali aku disini.

15 Januari 2007

Jelang Senja di Singgah Mata

Kau tahu Nda?! Singgah Mata adalah nama pegunungan yang masih termasuk wilayah Kabupaten Nagan Raya yang menguhubungkan Aceh Barat atau Nagan Raya dan Aceh Tengah. Sore ini kami melepas lelah disini setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam. Kami hendak menuju Takengon yang tinggal separuh perjalanan lagi. Padamu aku berbagi cerita tentang apa-apa yang kutemui dalam perjalanan ini.

Nda, disini tempat yang tepat untuk singgah, seperti namanya Singgah dan kata Mata pada nama Singgah Mata ini menandakan bagi setiap orang yang singgah pastilah mata kita tak bisa lepas untuk menatap keindahan sekaligus juga memanjatkan syukur atas keagungan Ilahi. Seandainya kau ikut serta bersamaku, catatan harian ini pasti akan lebih kaya. Dapat dipastikan kita tak akan habis menghitung akan kebesaran Tuhan. Nda, apakah kita telah benar-benar bersyukur? Kenikmatan yang tiada tara telah Tuhan suguhkan untuk kita, kekayaan alamnya konon disini menyimpan emas permata dan ntah sumber daya alam apalagi yang tersimpan di pegunungan ini......tapi sayang Nda, masih saja ada dari kita yang lupa untuk bersyukur bahkan mereka itu datang hanya untuk merusak keperawanan alam ini, mengeksploitasinya untuk kepentingan perut mereka semata.

Alam ini kawan kita juga Nda, bukankah kita mesti menjaga dari kehancuran dan keserakahan manusia yang tak berjiwa? Bukankah alam ini merupakan titipan dan bekal bagi generasi ke generasi? Nda, bisa apa kita? Kekuatan apa yang bisa melindunginya dari tangan-tangan kotor yang tak bertangung jawab? Apa kita mampu mengajak saudara, bersama melawan para pecundang itu? Aku tak sanggup menyaksikan apabila pegunungan ini mesti runtuh akibat ulah manusia sendiri. Nda, kemari tanganmu, gandeng langkahku, ajari aku bagaimana menata jiwa merangkai hari menjadi mutiara bagi semesta.

Aku masih dengan lamunanku meski sesekali mesti menoleh ke arah temanku yang memanggilku untuk menunjukkan tempat yang indah lagi atau hanya sekedar berbagi cerita atau untuk mengambil gambar sebagai tanda mata bahwa kita pernah singgah disini. Aku juga menyertakan pada catatan ini Nda, kau bisa melihatnya betapa alamnya begitu segar, kabut tampak menyelimuti lembah, ada sebuah gubuk kecil tempat bernaung. Kami cukup lama disini, sehingga bisa melihat orang-orang yang melewati pegunungan ini pastilah singgah disini, sejenak kemudian melanjutkan perjalanan kembali.

Perlahan senja mulai menghampiri, kamipun mulai berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Kabut semakin menyelimuti, menutup sebagian pandangan, aku masih diburu lamunan berkecamuk dalam angan. Gerimis perlahan juga turun, menyisir kabut. Akupun terlelap bersama lamunan. Entah sampai dimana?
awal September 2006

Jelang Senja di Singgah Mata

Kau tahu Nda?! Singgah Mata adalah nama pegunungan yang masih termasuk wilayah Kabupaten Nagan Raya yang menguhubungkan Aceh Barat atau Nagan Raya dan Aceh Tengah. Sore ini kami melepas lelah disini setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam. Kami hendak menuju Takengon yang tinggal separuh perjalanan lagi. Padamu aku berbagi cerita tentang apa-apa yang kutemui dalam perjalanan ini.

Nda, disini tempat yang tepat untuk singgah, seperti namanya Singgah dan kata Mata pada nama Singgah Mata ini menandakan bagi setiap orang yang singgah pastilah mata kita tak bisa lepas untuk menatap keindahan sekaligus juga memanjatkan syukur atas keagungan Ilahi. Seandainya kau ikut serta bersamaku, catatan harian ini pasti akan lebih kaya. Dapat dipastikan kita tak akan habis menghitung akan kebesaran Tuhan. Nda, apakah kita telah benar-benar bersyukur? Kenikmatan yang tiada tara telah Tuhan suguhkan untuk kita, kekayaan alamnya konon disini menyimpan emas permata dan ntah sumber daya alam apalagi yang tersimpan di pegunungan ini......tapi sayang Nda, masih saja ada dari kita yang lupa untuk bersyukur bahkan mereka itu datang hanya untuk merusak keperawanan alam ini, mengeksploitasinya untuk kepentingan perut mereka semata.

Alam ini kawan kita juga Nda, bukankah kita mesti menjaga dari kehancuran dan keserakahan manusia yang tak berjiwa? Bukankah alam ini merupakan titipan dan bekal bagi generasi ke generasi? Nda, bisa apa kita? Kekuatan apa yang bisa melindunginya dari tangan-tangan kotor yang tak bertangung jawab? Apa kita mampu mengajak saudara, bersama melawan para pecundang itu? Aku tak sanggup menyaksikan apabila pegunungan ini mesti runtuh akibat ulah manusia sendiri. Nda, kemari tanganmu, gandeng langkahku, ajari aku bagaimana menata jiwa merangkai hari menjadi mutiara bagi semesta.

Aku masih dengan lamunanku meski sesekali mesti menoleh ke arah temanku yang memanggilku untuk menunjukkan tempat yang indah lagi atau hanya sekedar berbagi cerita atau untuk mengambil gambar sebagai tanda mata bahwa kita pernah singgah disini. Aku juga menyertakan pada catatan ini Nda, kau bisa melihatnya betapa alamnya begitu segar, kabut tampak menyelimuti lembah, ada sebuah gubuk kecil tempat bernaung. Kami cukup lama disini, sehingga bisa melihat orang-orang yang melewati pegunungan ini pastilah singgah disini, sejenak kemudian melanjutkan perjalanan kembali.

Perlahan senja mulai menghampiri, kamipun mulai berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Kabut semakin menyelimuti, menutup sebagian pandangan, aku masih diburu lamunan berkecamuk dalam angan. Gerimis perlahan juga turun, menyisir kabut. Akupun terlelap bersama lamunan. Entah sampai dimana?
awal September 2006

04 May, 2007

Kota Ini Belum Mati Kawan!

Inilah kota yang ditinggalkan badai? Puing-puing kehancuran itu seolah ingin bicara menyampaikan pesan ruhani tentang hikmah badai bagi setiap jiwa yang kelu.

Inikah kota yang letih dalam menanti damai? Pada setiap buih yang berbaris di pantai ini seolah akan ungkapkan betapa alam adalah kawan yang mesti kita semaikan salam.

Kota ini tak mati, lihatlah kawan, gelombang kecil itu meneriakkah kerinduan akan kedamaian antara laut dan pantai, antara pantai dan daratan begitu juga antara bukit dan lautan.

Akupun berjalan menyapa bukit yang persis berada ditengah kota. Dari sini aku dapat melihat seluruh kota, pemandangan yang menakjubkan, laut, jalan kota yang sudah remuk, pasar, rumah-rumah penduduk, perkantoran tampak seperti tengah bermimpi, seperti kota semu. Tapi inilah kotamu kawan, bicaralah dengan kelembutan sanubari, karena kota ini belum mati. Kulihat ia masih ingin hidup bahkan seribu tahun lagi dengan harapan baru pun juga kasih sayang, seperti dari uluran tangan dan hatimu Kawan.....

Pergilah gelombang, jangan usik ketenangan. Bukankah kedamaian telah terpatri pada selembar awan, matahari adalah saksi bagi setiap detik pun detak jantung kehidupan Kota ini, Kota yang belum mati.

Senin, 11 Desember 2006

Ruang Sunyi

Sebuah penantian panjang, tentang kehidupan dan cinta. Pengembaraan jiwa untuk meraih semesta asa melampaui sunyi yang bening, sunyi yang hening, sunyi yang tak hampa melainkan sunyi dengan makna yang sempurna dalam ruang kalbu. Malam ini terbukalah pintu waktu, lalu terkuaklah cinta

Aku telah mendekam melewati ratusan purnama, mengais kerinduan. Entah, kenapa bisa sampai dibatas waktu, padahal musim demi musim menyapa langkah tak seramah gerimis yang turun perlahan dan syahdu, menebar angin, mengikis lembut ke dasar kalbu. Kita telah bicara, tidak sekedar menyusun kata melainkan memahat makna, mengukir kedalaman jiwa, bangkit dari barisan pilu setelah prahara menghempas tak menyisakan apa-apa.

Gerimis ini turut mengantarku membuka ruang, entah karena apa kita telah tiba didalamnya, menyulam sisa musim yang barangkali masih bermakna. Dengan benang-benang angan terpaut pada awan di langit kita yang merekah

Ruang ini hanya kita, remang dan sunyi

Sigli, 20 Maret 2006

Perjalanan Pelangi

Pagi buta ini gerimis sudah turun, langit tak cerah., kabut masih menyelimuti Gampoeng. Aku menyusuri jalan beraspal, memikul kerinduan yang akan kuungkapkan pada saat langit kembali cerah dengan bingkai pelangi yang mengitarinya. Saat itu tiba, engkau pasti tak dapat bicara. Diam. Tapi matamu menelurusi ke rongga sunyiku, kita bertemu disana, bicara tentang makna setiap langkah dalam menggapai asa, bahkan titipan Tuhan untuk menjaga semesta dengan kasih sayang. Aku terus berjalan, hingga langitpun cerah, dengan awan putih menghias langitmu yang bermahkotakan pelangi.

Aku tiba didepanmu. Kau berdiri tegak, senyummu masih kau simpan, matamu seperti yang sudah kuduga, menyapaku dengan salam kerinduan. Meski barangkali kau berfikir tak percaya, tiba-tiba aku berada didepanmu, diantara sawah-sawah yang membentang dengan sepoi angin menyisir tubuhku yang mulai kaku didekatmu.

Adien, kapan tiba disini? Sapamu masih seperti tak percaya. Nda, aku selalu disini, didekat hatimu bahkan aku ingin selalu dihatimu seperti dulu, dimana kita selalu bicara tentang cinta, kerinduan dan catatan perjalanan. Saat ini semua itu tinggal kenangan yang masih terukir dalam ruang kalbu yang pernah kau tata untukku. Begitu juga dengan cerita kita yang kita ciptakan tidak sekedar angan bahkan begitu sempurna di jalanku.
Nda, kita memang sudah lama tak bicara, tapi yang kutahu kaulah jalanku begitu juga dengan kejujuran, kau tiada tara, cinta menanti dalam ruang sunyi ditemani kelam yang telah jadi pelita. Nda, biarkan aku terus menyongsong sunyi dalam kesendirian. Aku tetap yakin kau selamanya yang bertahta.

Selasa, 12 Desember2006

Hujan Turun Sepanjang Hari

Kubuka laptop ingin kusapa hari ini dengan catatan dari ruang hatiku yang terdalam. Pagi buta ini hujan sudah turun, bahkan dari semalam hujan begitu deras. Aku lanjutkan catatan harian ini, tapi aku tak bisa lantaran hujan ini telah mengganggu pikiranku, menghadirkan seribu angan, mengembarai pikiran dan juga hatikku.

Bahkan akupun lelah untuk bangkit, keluar rumah atau sekedar menyambut pagi. Langitpun mendung, matahari enggan menyapa kampung ini, entah kenapa? Pagi berlalu akupun tak tahu karena hujanpun tak henti bahkan ketika siang juga berlalu tidak terasa, cuaca dari pagi sama saja, tak ramah, lesu pun tak bergairah. Hingga sore inipun aku masih terbuai dalam angan tentang hari esok yang cerah, bermakna dan bergairah, agar aku dapat menuai kasih, menyiram cinta dikebun waktuku yang mekar dengan bunga-bunga yang semerbakkan harum rindu.

Entah sampai kapan hujan ini akan berhenti? Lalu, anganku pergi berganti nyata yang dibawa gerimis untukkku. Terimakasih. Amin.
Langkak, 3 Mei 2007