Gerimis menggenangi siang yang sudah berkabut
Tak ada gairah yang dicerminkan langit
Kecuali kesedihan menyusul berlalunya
Separuh jiwa yang tersiksa
Ntah dimana angin membawanya berteduh?
Mengapa ia tinggalkan separuh lagi dari lukanya?
Pada garis waktu janji ditambatkan
Hendak menyusuri sepanjang kasih
Dan mengubur luka yang telah berabad
Cangkringan, 12 Pebruari 2002
25 July, 2007
Pertemuan Kedua
Bagi saudara hati, Lala
Aku tahu engkau tak pernah hilang
Meskipun keluh kesah alam
Menghalangi kerinduan kita
Barangkali pertemuan kedua ini
Melahirkan catatan resah masing-masing
Yang tidak hanya ditulis dikedalaman laut
Melainkan diukir pada langkah
Bumi, langit dan matahari
Sumenep,Juli 2000
Aku tahu engkau tak pernah hilang
Meskipun keluh kesah alam
Menghalangi kerinduan kita
Barangkali pertemuan kedua ini
Melahirkan catatan resah masing-masing
Yang tidak hanya ditulis dikedalaman laut
Melainkan diukir pada langkah
Bumi, langit dan matahari
Sumenep,Juli 2000
Kabar Kepada Ibu
Aku ingin katakan sesuatu
Dengan kejujuran yang tidak ingin kupendam
Biarlah aku dibumi saja
Yogya, Oktober 2000
Dengan kejujuran yang tidak ingin kupendam
Biarlah aku dibumi saja
Yogya, Oktober 2000
Kini Sebuah Desa
KINI SEBUAH DESA
Kini sebuah desa
Membentang sawah
Juga menjulang asa dan kehidupan
Tempat nafas menggantungkan desahnya
Hening
Kecuali senda gurau anak-anak ayam
Riang burung-burung bersama kicaunya
Geliat batang-batang padi
Dan
Sederhana
Hanya sederhana
Purworejo, 16 Perbruari 2002
Kini sebuah desa
Membentang sawah
Juga menjulang asa dan kehidupan
Tempat nafas menggantungkan desahnya
Hening
Kecuali senda gurau anak-anak ayam
Riang burung-burung bersama kicaunya
Geliat batang-batang padi
Dan
Sederhana
Hanya sederhana
Purworejo, 16 Perbruari 2002
Kudengar Tangismu
Aku telah berlalu meninggalkan riuh
Disebuah tahta teduh
Pohonan dan desah angin enggan menyelamatkan aku
Hanya mendung maupun rintik hujan
Rela
Menadah kepiluan yang mengguncang
Setelah dukamu kubiarkan kian mengkabut
Airmata adalah jeritan hati
Kau telah mengirimnya lewat suaramu yang lirih
Dalam genggaman ponsel
Saat awan beranjak ke barat
Saat cemas menggumpal
Seperti kerinduan yang ditakdirkan tak sampai
Tangismu mengalir hingga ke jantung
Membisikkan ketulusan yang sempurna
Papringan, 12 Pebruari 2002
Disebuah tahta teduh
Pohonan dan desah angin enggan menyelamatkan aku
Hanya mendung maupun rintik hujan
Rela
Menadah kepiluan yang mengguncang
Setelah dukamu kubiarkan kian mengkabut
Airmata adalah jeritan hati
Kau telah mengirimnya lewat suaramu yang lirih
Dalam genggaman ponsel
Saat awan beranjak ke barat
Saat cemas menggumpal
Seperti kerinduan yang ditakdirkan tak sampai
Tangismu mengalir hingga ke jantung
Membisikkan ketulusan yang sempurna
Papringan, 12 Pebruari 2002
Catatan 19 Januari
Nda, engkau dimana saat luka menyapa kali pertama dalam hidupku? Malam itu bintang bertaburan menghiasi langit. Cerah Nda, seperti tak akan ada pertanda buruk. Aku masih duduk di beranda menikmati malam dengan sejuta lamunan tentang cinta, kehidupan dan segala yang belum kuketahui dengan baik dan bijak. Dahan pohon jambu menggeliat, daunnya yang sudah menguning jatuh ke tanah, angin hanya sepoi-sepoi, mengiringi lamunanku ke ujung masa depan yang aku belum tahu akan seperti apa dan akan bagaimana warnanya?
Nda, tiba-tiba seorang kawan datang menghampiriku, menyuguhkan sepucuk surat. Aku bergegas membukanya, tak sabar apa gerangan yang ada dalam surat itu. Surat itu memang bukan untukku melainkan untuk kawanku yang datang itu, kulihat wajahnya lesu, tak ada gairah tapi dia cukup menengangkanku. Aku semakin diburu penasaran, dadaku mulai bergemuruh pelan ketika mulai kubaca bait-bait pertama surat itu. Sepertinya penulisnya sedang serius, marah dan bahkan penuh kebencian. Kau tahu Nda? Surat itu memang tidak tertuju untukku, akan tetapi isinya seluruhnya untukku.
Nda, bagaimana mungkin aku tidak terluka? Bagian surat itu mencemoohku, menamparku dengan kepedihan, penghinaan, caci maki dan kebencian yang mendalam. Mencibir akan anugerah cinta, barangkali hingga kini dan ntah hingga kapan?
Catatan luka ini menjadi karibku sepanjang 200 purnama ini. Dan entah kenapa aku ingin menjadi seperti yang dia bayangkan, seperti yang dia pikirkan, seperti yang dia tuduhkan. Aku telah melaluinya penuh kepedihan...keterpaksaan...kepura-puraan. Dan inilah....masa kinikku menjadi berantakan. Hari ini aku mengenangnya kembali, barangkali untuk terakhir kali. Ingin kukatakan SELAMAT TINGGAL LUKA.
19 Januari 2007
Nda, tiba-tiba seorang kawan datang menghampiriku, menyuguhkan sepucuk surat. Aku bergegas membukanya, tak sabar apa gerangan yang ada dalam surat itu. Surat itu memang bukan untukku melainkan untuk kawanku yang datang itu, kulihat wajahnya lesu, tak ada gairah tapi dia cukup menengangkanku. Aku semakin diburu penasaran, dadaku mulai bergemuruh pelan ketika mulai kubaca bait-bait pertama surat itu. Sepertinya penulisnya sedang serius, marah dan bahkan penuh kebencian. Kau tahu Nda? Surat itu memang tidak tertuju untukku, akan tetapi isinya seluruhnya untukku.
Nda, bagaimana mungkin aku tidak terluka? Bagian surat itu mencemoohku, menamparku dengan kepedihan, penghinaan, caci maki dan kebencian yang mendalam. Mencibir akan anugerah cinta, barangkali hingga kini dan ntah hingga kapan?
Catatan luka ini menjadi karibku sepanjang 200 purnama ini. Dan entah kenapa aku ingin menjadi seperti yang dia bayangkan, seperti yang dia pikirkan, seperti yang dia tuduhkan. Aku telah melaluinya penuh kepedihan...keterpaksaan...kepura-puraan. Dan inilah....masa kinikku menjadi berantakan. Hari ini aku mengenangnya kembali, barangkali untuk terakhir kali. Ingin kukatakan SELAMAT TINGGAL LUKA.
19 Januari 2007
Rindu Sang Kakek
Berabab sudah berlalu dari permukaan waktu, aku ingin belajar mengais
Aku ingin mengikuti jejakmu meski aku tak mampu, bahkan monument yang kau tinggalkan untuk kami, tak sanggup jua untuk aku jaga. Aku tahu engkau mengukir dengan keringat letih perjuangan, jarak dan bahkan hatimu yang konon sempat pula putus asa.
Aku ingin belajar dari pengembaraanmu, aku ingin belajar dari kerendahan hatimu dari ketulusanmu yang tak berbatas. Dari setiap langkahmu yang tak mengenal lelah, dari keluhuran jiwamu yang hingga kini terus wangi ke penjuru waktu.
Dimana doa untukku?
Aku telah berlumur pekat sepanjang waktu, aku ingin purnama menyinariku dengan cahaya, cahaya yang pernah kau tebarkan dalam gulita, kemudian menjadi lautan cahaya, menebar dari waktu ke waktu. Aku tak sanggup menjadi engkau lantaran aku hampa dan masih dahaga.
Latee, 13 Juli 2007
Aku ingin mengikuti jejakmu meski aku tak mampu, bahkan monument yang kau tinggalkan untuk kami, tak sanggup jua untuk aku jaga. Aku tahu engkau mengukir dengan keringat letih perjuangan, jarak dan bahkan hatimu yang konon sempat pula putus asa.
Aku ingin belajar dari pengembaraanmu, aku ingin belajar dari kerendahan hatimu dari ketulusanmu yang tak berbatas. Dari setiap langkahmu yang tak mengenal lelah, dari keluhuran jiwamu yang hingga kini terus wangi ke penjuru waktu.
Dimana doa untukku?
Aku telah berlumur pekat sepanjang waktu, aku ingin purnama menyinariku dengan cahaya, cahaya yang pernah kau tebarkan dalam gulita, kemudian menjadi lautan cahaya, menebar dari waktu ke waktu. Aku tak sanggup menjadi engkau lantaran aku hampa dan masih dahaga.
Latee, 13 Juli 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)