31 July, 2011

Sepanjang Jalan Cinta, Episode II


1.
Lima tahun gugusan kabut menggumpal
hingga pandanganku perih
hari-hari itu sejuta kebohongan
berwujud langkah-langkah tak sampai

Seberang laut itu hanya ada laut
Aku hanya berputar-putar
Mengiringi irama gelombang
Pada akhir terdampar

2.
Lalu, kesunyianpun mulai mencekam
begitu jabat hati tak sampai
pada sorot mata yang dalam
senyumpun tak habis kukenang

Lagu-lagu kunyanyikan sepanjang pantai
saat matahari akan berpulang
saat deru ombak kian menerjang
kala bunga rindu mewangi dalam hati

3.
Dibalik itu,
ada kata hati memantul kejujuran
dalam rahasia-rahasia bilik batin
begitu lama
hingga suatu hari
aku mengusap cemas pada bening hatimu
seraya membuka tabir ketulusan itu

4.
Entahlah, apakah harus kucatat
perjalanan ini ketika aku terbakar
api yang sebelumnya pernah nyala

seperti tak ingin kumaafkan
saat langkah itu semakin membara
pun tak hendak kukenang
ketika kaki berpijak kian kuat

engkau sebatas lamunan
melewati persis dalam hening

5.
Kau sungguh catatan buram
dalam buku harian
lelah perjalanan telah kusandarkan
karena melihatmu seperti kenangan
seperti perjumpaan kedua ini
kau bungkus kebohongan
dengan untaian kata, tatapan tajam
juga kisah-kisah tema keindahan

Hingga suatu hari seekor burung
melesat cepat membawa kebenaran

1991 - 2000

28 July, 2011

Peristiwa di Bulan Nisan


Suatu hari di bulan Nisan, seorang perempuan berlumuran tangis mencari keadilan, mempertanyakan apa itu kemerdekaan? Apa itu kebebasan?setengah menyesal telah terlahir di bumi dengan hamparan ladang-ladang kepalsuan, dengan hembusan udara kemunafikan? Dengan setengah hati ia mempertanyakan akan hadirnya pada dunia yang sempit yang sekelilingnya sejuta mata sinis diarahkan padanya, pada langkahnya, tanpa melihat sedikitpun jejak-jejak melati yang ditanamnya.Lalu menjadi tontonan gratis bagi sempitnya pemahaman, tontonan bagi naifnya peradaban, hiburan bagi miskinnya keluhuran...

Perempuan itu tidak tahu lagi, bagaimana ia harus berkata dan bersikap. Sebab apa-apa yang terjadi pada pengalaman hidupnya yang terpahit, justru menjadi buah simalakama. Suatu  kejadian, peristiwa atau pandangan tentang apapun hanya dilihat dari  sisi kulit luar yang sangat tipis. Entah kacamata buram, kacamata tidak berkualitas ataupun memang matanya telah rabun? Seperti halnya pakaian yang dikenakan seseorang belum tentu mencermintan hati dan perbuatannya.

Manusia sudah menjadi tuhan bagi lainnya. Bahkan lebih berkuasa, sehingga mereka bisa bertindak atas nama kekuasaan mengungguli kekuasaan Tuhan. Manusia sudah menjadi hakim, melebihi keadilan Tuhan, manusia sudah menjadi Nabi melebihi kearifan para nabi. Manusia bahkan sudah menjadi setan, lebih setan daripada setan-setan yang sesungguhnya.

Apakah kesalahan seseorang bagi manusia menjadi harga mati dalam hidupnya? bukankah Tuhan membukakan lebar-lebar pintu taubah, untuk refleksi, menyadari kekeliruan diri, menjadi ruang untuk menghayati perjalanan di masa lalunya, dimana letak kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan. Tapi manusia hanya bisa menyediakan neraka dalam kehidupan sesamanya. Mereka tidak pernah perduli untuk sekadar membukakan pintu altar bagi sesamanya yang sedang tertatih, mereka juga enggan untuk mengapit sesamanya yang sedang sakit untuk mengantarkannya ke serambi mesjid, atau di pintu gereja, kuil ataupun wihara. Bagaimana ia bisa  melepaskan dosa kalau di sekelilingnya menutup rapat-rapat jalan menuju pemujaan?

Apakah altar hanya layak bagi para kiai, ulama, bikshu, pendeta, pastur? Kalau benar begitu, apakah mereka  bisa melihat jeritan para pelacur? Orang miskin, janda, perempuan jompo, anak-anak, orang-orang lemah tak berdaya? 

Lalu ia tersenyum getir mengiringi air mata yang mengalir deras, sembari menatap langit dengan lekat serasa dekat, seolah ia sedang menyampaikan keluh kesahnya dan menemukan jawaban, bahwa Tuhan selalu ada untuk siapapun.

Kabut Dingin di Bethesda

Semoga hanya sebatas perasaan angin
Jika gumpalan  awan menjelma kabut
menjadikannya kekeruhan
di bening matamu juga mataku
meskipun kemarin ini
engkau mengajak menyapa
rerumputan tlah lama
tak ditegur hujan

Kini hujanpun tiba mencekam
dan bibirmu tak lagi semerbakkan
kehangatan perbincangan
ilalang menggigil

Sampai kapan musim dingin
mengekang senyummu ?
masihkan boleh ranting basah tergeletak
menunggu hangatnya pagi
di tengah perjalanan ini
hanya perjalanan ini

Kaliurang, 20 Oktober 2000

Kabar Kepada Lala


Barangkali garis langkah dikaki berliku
Kau tahu persis, bagaimana beragamnya
Rerumputan, atau bunga atau juga pohonan
ikut serta berbaris sampai ke ujung senja

Seperti ketika kau buka jendela pagi ini
Angin mengirimkan berita dibawa hujan
Tentang langit dalam gapai
Walau matahari masih bersinar

Aku tahu, engkau paham betul,
Bagaimana jika rindu bergelora
Mematuk kalbu menggores luka
Entah siapa pelakunya?

Purworejo, 20 Pebruari 2002  

27 July, 2011

Sepanjang Jalan Cinta, Episode I

1.
Bunga tidurku nyanyian rindumu
Berpuluh-puluh purnama
Menjadi cerita utuh setiap malamku
Sepasang kekasih terjebak dibukit cinta

Aku tak pernah tahu apa artinya
Ia sungguh nyata dalam mimpi

2.
pada sebuah waktu yang masih ranum
seraut wajah semerah buah delima
aku berkenalan dengan sepasang mata
didalamnya terkubur seribu satu misteri

aku telah jatuh hati dengan segumpal perih

3.
jalan ini mimpi
jalan ini ilusi
engkau bagian dari sepi yang mulai menghatui
aku memang ingin berlabuh
dan menciptakan keindahan diatas derita
aku juga ingin berbagi senyum kepalsuan
dari kembang-kembang kertas

engkau adalah bayangan
kita merajut hari-hari dari benih
yang belum waktunya disemai

4
kau tahu bagaimana aku bertemu matahari
kau juga tahu bagaimana hati kita telah rapuh
waktu mengulurkan letih di pelupuk mata
hingga
kita membangun cinta diatas perih masing-masing

tapi mengapa jalan itu kau tinggalkan
tanpa kata maupun pesan
bukankah engkau telah berjanji
saling membalut keringat letih masalalu?

aku telah melayangkan sejuta mimpi
untuk menempuh segenap waktu
tapi kau tinggalkan tangis berlumut di telaga

1986 - 1990

Terkepung Cemas


Tiba-tiba langkahku terkepung cemas
Terhenti dalam mangu dan perih

Begitu parau terdengar lirih keluhmu
Semakin mendekati telinga
Akupun kian terjatuh dalam nasib

Kubisiki sepotong janji
Pada serbuk obat
Dan sekelumit doa 

Latee, 18 Januari 2011

Cinta Penghujung Malam (Kidung Tiga)


Kemudian malam tiba menabur bintang-bintang
Secercah telah jatuh ke pelupuk mata
Hingga tenggelam ke dalam hati

Kemudian berangkat sepi
Dengan seribu mimpi menemani
Aku masih bertanya tak mengerti makna

Kemudian pagi membangunkan tubuh
Menyirami dengan matahari
Serta sorak sorai senda gurau

tatapan hampa itu seolah jawabnya

Depok, 15 Desember 2009

Cinta Penghujung Malam (Kidung Dua)


Pertanyaan itu semakin menyerbu pikiran
Terdesak  untuk menemukan jawab
Bertanya pada malaikat yang mengapit resah
Ia menghilang tak menitip sepatah pesan

Matamu seperti mencela pertanyaanku
Senyummu seolah mencibir tatapanku

Di ruang yang sudah kuketahui
Engkau benggandeng permaisuri
Mata tetap tak henti menyusuri jejakmu
Meski aku takut masuk ke dalam hatimu

Depok, 14 Desember 2009

Cinta Penghujung Malam (Kidung Satu)

Inikah cinta pada penghujung malam?
Dengan tanda tanya yang dipasang hati
Ketidakmengertian meraupi wajah
Hingga kerutpun menunggu jawaban

Perjumpaan pertama kita
Saat penat merangkul dalam riuh suasana
Aku membaca mata maupun senyummu
Kata-katamu kering di pendengaran

Aku mundur selangkah, dua langkah
Membawa seribu pertanyaan dan gundah

Depok, 14 Desember 2009

25 July, 2011

Limpah Ruah Bahagia

Dari dasar hati nyanyian pagi mengalun
musik berupa kicau burung
mengantar keindahan hijau alam
suara air menambah syahdu
mengalir di sungai ini
aroma udara memamerkan segarnya
beserta canda tawa

Pada batu besar di tengah sungai itu
sepasang nama diukir
berpadu dengan gambar tanda dua hati
angin dingin lereng ini
menyatukan desah nafas
sarat dengan senyum dan ucap syukur
melimpah ruah nikmat bahagia

Sengi, 6 Juli 2011