28 July, 2011

Peristiwa di Bulan Nisan


Suatu hari di bulan Nisan, seorang perempuan berlumuran tangis mencari keadilan, mempertanyakan apa itu kemerdekaan? Apa itu kebebasan?setengah menyesal telah terlahir di bumi dengan hamparan ladang-ladang kepalsuan, dengan hembusan udara kemunafikan? Dengan setengah hati ia mempertanyakan akan hadirnya pada dunia yang sempit yang sekelilingnya sejuta mata sinis diarahkan padanya, pada langkahnya, tanpa melihat sedikitpun jejak-jejak melati yang ditanamnya.Lalu menjadi tontonan gratis bagi sempitnya pemahaman, tontonan bagi naifnya peradaban, hiburan bagi miskinnya keluhuran...

Perempuan itu tidak tahu lagi, bagaimana ia harus berkata dan bersikap. Sebab apa-apa yang terjadi pada pengalaman hidupnya yang terpahit, justru menjadi buah simalakama. Suatu  kejadian, peristiwa atau pandangan tentang apapun hanya dilihat dari  sisi kulit luar yang sangat tipis. Entah kacamata buram, kacamata tidak berkualitas ataupun memang matanya telah rabun? Seperti halnya pakaian yang dikenakan seseorang belum tentu mencermintan hati dan perbuatannya.

Manusia sudah menjadi tuhan bagi lainnya. Bahkan lebih berkuasa, sehingga mereka bisa bertindak atas nama kekuasaan mengungguli kekuasaan Tuhan. Manusia sudah menjadi hakim, melebihi keadilan Tuhan, manusia sudah menjadi Nabi melebihi kearifan para nabi. Manusia bahkan sudah menjadi setan, lebih setan daripada setan-setan yang sesungguhnya.

Apakah kesalahan seseorang bagi manusia menjadi harga mati dalam hidupnya? bukankah Tuhan membukakan lebar-lebar pintu taubah, untuk refleksi, menyadari kekeliruan diri, menjadi ruang untuk menghayati perjalanan di masa lalunya, dimana letak kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan. Tapi manusia hanya bisa menyediakan neraka dalam kehidupan sesamanya. Mereka tidak pernah perduli untuk sekadar membukakan pintu altar bagi sesamanya yang sedang tertatih, mereka juga enggan untuk mengapit sesamanya yang sedang sakit untuk mengantarkannya ke serambi mesjid, atau di pintu gereja, kuil ataupun wihara. Bagaimana ia bisa  melepaskan dosa kalau di sekelilingnya menutup rapat-rapat jalan menuju pemujaan?

Apakah altar hanya layak bagi para kiai, ulama, bikshu, pendeta, pastur? Kalau benar begitu, apakah mereka  bisa melihat jeritan para pelacur? Orang miskin, janda, perempuan jompo, anak-anak, orang-orang lemah tak berdaya? 

Lalu ia tersenyum getir mengiringi air mata yang mengalir deras, sembari menatap langit dengan lekat serasa dekat, seolah ia sedang menyampaikan keluh kesahnya dan menemukan jawaban, bahwa Tuhan selalu ada untuk siapapun.

1 comment: