23 May, 2010

Selamat Datang Sahabat

Setelah beberapa bulan kematianmu menjadi duka dan siksa dalam perjalananku, kini engkau tiba dengan wajah baru, menyungging senyum dan membawakan aku setangkup kisah tentang masa. Akupun terpesona dengan kehadiranmu, seolah menghapus barisan kerut yang memenuhi dahiku beberapa bulan terakhir ini dan kembali mengisi cawan yang sudah lama kering, lantaran tak tersentuh hangat kopi perbincangan. Kedatanganmu meneguhkan pepatah yang mengatakan, mati satu tumbuh seribu.

Selamat datang sahabat, aku hanya bisa menyambutmu dengan jabat erat atas kehadiranmu. Aku tak dapat memberimu jamuan istimewa apapun atas kembalinya engkau dalam beranda hati kehidupanku, ketika kerinduanku menjadi lumut membeku atas ketiadaanmu. Atau bahkan aku telah membebanimu, bergunung-gunung kepedihan dan menghujanimu airmata. Aku hanya bisa merangkai kata menjadi cinderamata di dinding hati, mengabadikan namamu seindah warna pelangi pada sketsa persahabatan kita.

Hari-hari dimana kita telah saling berbagi, mengingatkanku lagi, bahwa engkau tak pernah mati, akan tetapi engkau hanya pergi sejenak waktu dan kembali bersama merajut makna perjalanan, bagi kehidupan yang masih panjang, saling mengingatkan dan menjaga tali persahabatan juga persaudaraan.

Terimakasih sahabat,
Engkau menjadi seribu, bagi satu kematianmu terdahulu.
Dan aku percaya engkau tak kan pernah mati lagi….
Semoga.

Latee, 22 Mei 2010
Bagi : Sis, Ray,Soka, Sus, Mey, Yuna, Lala dan Infi. Juga geset dan ibra

22 May, 2010

Melangkah Di Langkak

Nda, aku menelurusi waktu hingga tiba disini, hanya dengan cinta yang dititipkan sejenak dijiwaku, aku melangkah gapai kerinduan. Disini aku sendiri dalam menjalani tugas dan pekerjaanku. Langkak itu adalah nama Desa dimana aku akan menyemai rasa, berbagi cinta dalam duka, nestapa mereka akibat gempa dan malapetaka yang menimpa.

Kau tahu Nda, Tanah ini telah porak poranda, aku sebenarnya hanyalah sejumput debu yang tak pantas singgah dan menemani mereka menata kepedihan menjadi suka cita dan sekelumit senyum. Bukankah aku hanya sebatang ilalang yang tak bersayap? Dengan ketulusan itulah Nda, aku bergegas beranjak dari ranjang mimpiku yang telah kusam. Ternyata aku memang sangat lelah, mereka sulit kuajak jaring matahari, mereka tidak mau aku ajak berendam dalam bulan, merasakan kehangatan cahayanya. mereka telah memiliki kelebihan yang sempurna yang hanya terangkai dalam kata-kata. Mereka telah memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi yang hanya ada dalam Qanun tapi tak kulihat dalam realitas. Tanah ini telah memiliki budayanya sendiri seolah enggan untuk mencipta yang lain atau sekedar tahu yang lain.

Bagaimana mungkin dengan kedua tanganku ini aku mampu merangkul mereka? Sementara mereka telah dirangkul keserakahan dan kesombongan? Bagaimana mungkin dengan sejumput rasaku aku sanggup membagi keseluruh jiwa mereka, sedangkan mereka telah dipenuhi rasa percaya yang melimpah dalam setangkup cawan yang kosong.
Bagaimana mungkin Nda?

Nda,
Seperti bisikanmu semalam, aku tlah hanyut dalam sanubari yang kelu. Engkau tahu, aku hanyalah sebatang ilalang yang telah kering. Matahari menyempurnakan sinarnya hingga aku menjadi parau. Makna kalbu yang kutuang dalam secawan jiwa, menghadirkan seribu warna dalam setiap nafas dan langkah. Begitulah Nda, ketulusan merupakan mahkota tanpa ada tandingannya, ketulusan adalah mutiara dengan kilau yang memijar sepanjang waktu. Dengan itulah aku masih bisa berdiri. Dengan bisikanmu agar aku selalu tegar menjadi kawan bagi seribu resah dalam seribu musim sekalipun.

Bandara Soekarno Hatta

Aku gelisah menunggu taksi tak jua lewat, angin kencang yang sedang menerpa Jakarta ini semakin turut serta mengencangkan kecepatan nafasku, rasanya tak sabar, kekhawatiranpun menjadi utuh . bagaimana kalau aku ditinggal pesawat? Entah berapa lama aku menunggu, taksipun tiba menghampiri. Iapun melaju kencang seolah lalu lintas kota metropolitan ini tak mengenal macet.

Tiba di bandara, akupun bergegas turun, tidak begitu ramai lantaran detik-detik terakhir cheking semestinya sudah lewat. Aku berjalan semakin kencang, begitu tiba di ruang tunggu, akupun duduk diantara penumpang lain. Nafas yang dari tadi terengah-engah mulai teratur, dengan helaan nafas yang panjang aku bersandar dikursi mendekap kerinduan yang tak berujung. Kupejamkan mata ingin membaca barisan resah yang kutaburkan dalam jiwa, ketika letihku kusandarkan pada dahan angin. Nda, aku tak dapat memastikan apakah Ruang itu masih selamanya cinta atau hanya tempat singgah dari kebisingan jiwa yang murka? Entahlah, nanti kita bicara bagaimana terbebas dari kerinduan? Bagaimana mesti kita bertahan dari bencana resah yang setiap musim melanda waktu.

Aku masih terus bicara dalam keheningan. Kupandangi sekelilingku, ingin kuakhiri lamunan, memandangi anak-anak yang asyik dengan candanya, berlari kesana kemari, sebentar menghampiri orang tuanya dan berlari-lari kecil mengelilingi ruangan, mereka seolah menikmati saat-saat penantian pesawat tiba. Yang lain duduk dengan tenang, kulihat mata mereka juga sedang berbicara, masing-masing dengan bahasanya pun bahasaku. Tiga puluh menit berlalu, rasa syukur kuungkapkan hanya dalam kalbu terdalam, pesawat kali ini tidak terlambat, tidak tertunda seperti pengalaman yang sudah-sudah. akupun beranjak bersama yang lain hendak berjalan, bergegas menuju kearah pesawat.

Akupun mengambil tempat duduk sesuai yang tertera pada tiket tanpa harus dibantu para awak pesawat. Aku duduk persis disamping kaca jendela pesawat. Mataku mulai menerawang jauh, setelah merasa lelah, akupun memejamkan kata, tetap menerawang, kali ini dalam lamunan. Aku terasa terbang bersamamu melintasi awan, meninggalkan luka yang terkubur, ya... aku sedang bersamamu, dalam khayal dan mimpi yang kulipat rapat dalam sanubari. Tunggulah aku disana.

Cengkareng, 19 Agustus 2006