22 May, 2010

Bandara Soekarno Hatta

Aku gelisah menunggu taksi tak jua lewat, angin kencang yang sedang menerpa Jakarta ini semakin turut serta mengencangkan kecepatan nafasku, rasanya tak sabar, kekhawatiranpun menjadi utuh . bagaimana kalau aku ditinggal pesawat? Entah berapa lama aku menunggu, taksipun tiba menghampiri. Iapun melaju kencang seolah lalu lintas kota metropolitan ini tak mengenal macet.

Tiba di bandara, akupun bergegas turun, tidak begitu ramai lantaran detik-detik terakhir cheking semestinya sudah lewat. Aku berjalan semakin kencang, begitu tiba di ruang tunggu, akupun duduk diantara penumpang lain. Nafas yang dari tadi terengah-engah mulai teratur, dengan helaan nafas yang panjang aku bersandar dikursi mendekap kerinduan yang tak berujung. Kupejamkan mata ingin membaca barisan resah yang kutaburkan dalam jiwa, ketika letihku kusandarkan pada dahan angin. Nda, aku tak dapat memastikan apakah Ruang itu masih selamanya cinta atau hanya tempat singgah dari kebisingan jiwa yang murka? Entahlah, nanti kita bicara bagaimana terbebas dari kerinduan? Bagaimana mesti kita bertahan dari bencana resah yang setiap musim melanda waktu.

Aku masih terus bicara dalam keheningan. Kupandangi sekelilingku, ingin kuakhiri lamunan, memandangi anak-anak yang asyik dengan candanya, berlari kesana kemari, sebentar menghampiri orang tuanya dan berlari-lari kecil mengelilingi ruangan, mereka seolah menikmati saat-saat penantian pesawat tiba. Yang lain duduk dengan tenang, kulihat mata mereka juga sedang berbicara, masing-masing dengan bahasanya pun bahasaku. Tiga puluh menit berlalu, rasa syukur kuungkapkan hanya dalam kalbu terdalam, pesawat kali ini tidak terlambat, tidak tertunda seperti pengalaman yang sudah-sudah. akupun beranjak bersama yang lain hendak berjalan, bergegas menuju kearah pesawat.

Akupun mengambil tempat duduk sesuai yang tertera pada tiket tanpa harus dibantu para awak pesawat. Aku duduk persis disamping kaca jendela pesawat. Mataku mulai menerawang jauh, setelah merasa lelah, akupun memejamkan kata, tetap menerawang, kali ini dalam lamunan. Aku terasa terbang bersamamu melintasi awan, meninggalkan luka yang terkubur, ya... aku sedang bersamamu, dalam khayal dan mimpi yang kulipat rapat dalam sanubari. Tunggulah aku disana.

Cengkareng, 19 Agustus 2006

No comments:

Post a Comment