04 August, 2008

PURNAMA TELAH BERLALU

Hari kebebasan bagi jiwa, pintu telah terbuka
Waktu mengulurkan setangkai purnama
Biar diamit dalam sejarah,
Mesti tercatat, sapa, senyum dan kata-kata
Telah basi bagi sebongkah hati yang telah karam

Apalagi saat langkah tak menjawab sedikitpun
Kedamaian. Sisa cibiran berlalu
Yang tertinggal adakah doa?
Ataukah hampa?

Pejaten, Juli 2008

01 August, 2008

BENCANA RUMAH KITA

Bencana telah melanda, mari berkemas
Benahi hati dari luka, nestapa
Bahkan durhaka ataupun kecurangan hati
Kita telah bangun rumah tempat istirah
Tempat berbagi, menyusun langkah matahari
Ketika kebebasan terpasung ditiang penguasa
Dan ketidak adilan menjadi menjadi
Bencana bagi rerumputan

Kata-kata haruslah kita hormati
Menjadi cambuk kepribadian
Bukan bersarangnya kebohongan
Dengan mengatasnamanya cinta dan nilai luhur

Mari kita sempurnakan ikrar
Bergandeng jiwa menapaki mimpi
Atau kita mengikuti jejak kelam
Menuju kesesatan?

Pejaten, 1 Agustus 2008

PADA MEJA BUNDAR INI

Meja ini hanya diam,
Ketika gugusan emosi hanya terkubur
Kata-kata sudah tak bermakna
Kecuali kebohongan yang dibungkus
Pada bibir-bibir pendusta

Seperti juga engkau diam
Tak ada yang tahu keberadaan hati
Tentang kebenaran kalbu
Kecuali bahasa-bahasa semesta
Pada batin ketulusan

Aku semakin terjerumus pilu
Lantaran makna yang terbungkam

Pejaten, 1 Agustus 2008

PUISI TAKDIR

PUISI TAKDIR
Bagi, Darimatahari

Malam membingkai bintang, aku menghitung berapa bait syair kutulis
Hingga cahayanya jatuh memantul masa depan
Aku juga telah membaca, berapa puisi yang kulantunkan harapan
Hingga satu dari cerita masa lampau menjelma
Hari ini aku telah mengalami nasib terpuruk sama persisnya

Aku sudah menghapus beberapa catatan yang kuikrarkan dalam
Pendaran makna sampai pada muara luka
Tidak perlu aku menunggu matahari terbit
Karena gemintang telah mengantar purnama pergi
Pada malam aku telah belajar merajut ketulusan

30 Juli 2008