05 July, 2008

SEJARAH HATI KEDUA

Membaca sejarah kelam di ufuk senja, kutoreh sejumput peristiwa dari sisa musim kemarau. Engkau disana hampa. Waktu mulai beranjak menjelajahi kembali kemarau, disana engkaupun diam. Bahkan hingga enam musim kemarau engkau tak ada.

Membuka jendela waktu, aku tiba di serambi hatimu, sembari memasuki ruang dimana kerinduan menunggu parau. Engkau mengulurkan janji bisu diantara riak ombak, hingga tak mampu kugapai dalam kepalan tangan-tangan yang tak lagi melambai.

Suatu hari kudengar burung pipit bernyanyi, mengepakkan sayapnya dengan riang, begitu juga elok gemulai ilalang bersama desir angin yang meniup lembut. Tiba-tiba engkaupun menjelma persis seperti pangeran yang menunggangi kuda putih tiba diujung senja, saat sungai mulai tenang. Dan aku masih berada disana, seperti menanti purnama

Suatu ketika aku melihatmu seperti bungkon dengan warna jiwamu yang berubah. Aku bukan seorang bijak yang dapat membaca setiap resahmu. Hari itu kita seperti asing tak saling kenal. Setiap pertemuan menimbulkan seribu pertanyaan yang kusimpan rapat, hingga kuyakin kau tak pernah mengetahui kebenarannya.

Sepanjang sunyi mengitari jiwa, aku terlelap dengan seutas mimpi, yang membekaliku harapan. Aku terbangun dan melihatmu telah berada disisi hati terdekat, mendekap mengulang janji yang sudah tak kuingat lagi. Engkau tak pernah berhenti mengajakku melihat pelangi di sore hari, menatap gemintang di malam hari pun juga menyusuri purnama sepanjang malam, hanya kita. Kali ini aku percaya bahwa telah kumasuki gerbang musim semi dengan doa, sujud dan syukur.

Aku akan melaluinya dengan suka cita

29 Juni 2008

No comments:

Post a Comment