04 April, 2010

Di Pinggiran Kota Jogjakarta

“Apa kabarmu?!” sapamu membuka perbincangan, setelah kurang lebih Sembilan puluh putaran matahari melewati kesunyian waktu. “Alhamdulillah, jalan lurus Tuhan tunjukkan, dan engkau disana menuntun” jawabku. Akupun juga kembali bertanya tentang keadaanmu. “Baik” jawabmu singkat. Tapi senyum dan kedalaman tatapan telah menceritakan betapa besar nikmat Tuhan, yang tak mampu kau rangkai hanya dengan bahasa. Begitu besarnya anugerah terangkum indah dihati dan perjalananmu kini. Aku juga membalas senyummu, ikut bersyukur atas kebahagiaan yang kau raih.

Begitulah pertemuan kita malam ini, disaksikan gemintang dan separuh bulan yang hampir tenggelam seperti biasa, kita bicara tentang hati nurani, perputaran waktu, kegelisahan dan dimana kita berdiri sekarang. Aku memulai dengan pembenahan diri sebagai proses yang tidak akan berhenti pada titik. Belajar pada hari yang kemarin kulewati adalah seperti bibit yang akan disemai, dengan berharap dapat membuahkan setangkai mentari yang kelak menghangatkan rerumputan dengan embun-embun yang lembut. Basah meresap.

Engkaupun bercerita tentang kelana panjang, kau telusuri dengan tegar. Aku tahu persis, kau menyukai tantangan berat, meda yang sulit yang dapat membebaskanmu dari belenggu pahit. Kau selalu belajar pada alam tempat kau berdiri sekarang, menggali hikmah dan kesadaran, tentang nestapa yang berada dibalik aturan, norma dan tatanan yang melanggengkan ketidakadilan bagi segenap jiwa.

Kerinduanpun mengikis sejenak. Menghilangkan prasangka dan mensudahi kecemasan. Masih terpatri dalam kenangku, tentang bahagia akan hadirnya titipan Kasih yang mesti kau jaga dengan segenap cinta dan pengorbanan. Malam terus beranjak menuju pekat, tidak ada kantuk yang menggoda kita, tidak ada keraguan yang menyelimuti masing-masing. Engkaupun masih meneguhkan bahwa keyakinan pada kebenaran akan membawa damai dilubuk waktu yang masih panjang.

”semoga Allah selalu menentramkan hatimu” Katamu mengakhiri percakapan ini. Amin.
Angin begitu lembut menyentuh tubuhku, selembut hati Jogja yang selalu mengerti suka dan duka yang kukecap, selalu mendengar suara-suara bagi hatiku yang parau.

Jogja, aku pasti kembali membawa sekuntum bunga, tanda cinderamata persahabatan kita bahkan mungkin juga cinta.

Jogja, Agustus 2008

No comments:

Post a Comment