16 June, 2013

Malam Yang Parau

Kemanakah bulan? bukankah purnama semakin dekat? mengapa malam membungkusnya dengan kabut yang pekat? O, ternyata hujan  rintik-rintik tiba, menjadi gerimis panjang, menemani dialog antar dua hati, mengiringi tangis yang tak terperi...

Wahai Sunyi, rumahku yang abadi,
catatlah janji terakhirku, hanya padamu aku berbagi sunyi dan segala kepedihan, mungkin juga sesekali ketika suka cita menghampiri, aku pun akan mengingatmu Sunyi... Tak seorangpun bahkan kekasihku sendiri. Bukankah sudah tiba masa bagiku untuk mencintai bukan dicintai, mengingatkanku pada sahabat karibku, malaikat pelindungku yang telah mengajari makna dan hakikat cinta... kini aku telah mengalaminya.

Dari kemarin pagi, aku terguncang, hatiku perih tanpa siapa-siapa, hanya aku sendiri. Melewati waktu demi waktu aku telah gagal menjaga rahasiaku sendiri, aku pun berbagi atau bahkan melampiaskannya padanya, pada kekasihku, malam ini saat dingin mulai menggigit tubuhku dan memaksaku mengapit tubuh pada bantal dan selimut yang tak dapat hadirkan kehangatan lagi.

hatiku sungguh perih, lalu kutelan ludah yang sudah getir rasanya, kering di kerongkongan. Aku tahu apa yang harus aku lakukan, mencintai itu memberi, mencintai itu mengabdi, mencintai itu tulus. Aku akan mencoba "mencintainya". ketika hatiku perih akupun ingin berbagi dengan tubuhku agar ia juga merasakan perih yang pasti berbeda antara perih di hati dengan rasa perih pada tubuh. Terima kasih tubuhku, engkau merakan perih juga saat ini....

Rumah Sunyi, 16 Juni 2013

No comments:

Post a Comment