Kesunyian tiba-tiba menyusup seperti angin yang melewati
celah jendela, tapi ini kesunyian saat berada di dekatmu. Kesunyian yang malam
ini mengajariku lagi untuk hati-hati, menuntunku untuk melangkah di depan kaca
dan memandangiku dari ujung rambut hingga ujung hati, dari sisi lahir hingga
batin. Aku diingatkan lagi oleh kesunyian untuk tidak melakukan kesalahan-kesalahan
yang berdampak buruk di masa yang akan datang. Di sudut malam ini letih
kubaringkan tak berdaya, terbujur dengan harapan-harapan, mimpi-mimpi yang
ditaburi tangis di dalamnya. Letih ini seperti mayat yang kaku, yang tinggal
menunggu penguburannya.
Malampun terus merangkak ke sudut sunyi yang terdalam.
Engkau tetap di sampingku, tubuhmu...
sedangkan pikiranmu mengunjungi tempat-tempat yang menjadi tanggung jawabmu
untuk kau singgahi. Letih yang terkaparpun tak terlihat olemu pun tak ingin
dilihat. Membiarkannya letih terperangkap pekat malam dan terjemurus ke jurang
sunyi.
Hingga pagi tiba tak terlihat juga, mendung menghampar
langit dan matahari terlelap dalam selimut kabut. Tak ada pagi yang cerah hari
ini, karena kesunyian berjalan menyusuri waktu hingga tibanya pagi. Lalu mengubah
langit menjadi pekat. Ataukah hari ini malam yang lebih panjang dari biasanya? Tidak.
Ini pagi yang berderai air hujan, seolah membantu mewakili tangis yang
terpendam. Tangis yang tak terurai air mata tapi tangis yang mengikis hati.
Ah, sudahlah... “letakkan pikiranmu di sini, lepaskan
bebanmu di sini... “ katamu seperti tak memahami datangnya kesunyian sepanjang
malam.
Kini, letih itu mematung...
No comments:
Post a Comment